Salah satu warisan budaya lokal Indonesia adalah tari
Jaran Kencak Lumajang. Tarian Jaran Kencak tidak sebatas pada kepentingan
hajatan masyarakat saja namun dalam aktifitas seperti festival kesenian daerah
Lumajang telah mempercayakan pada sekelompok kesenian Jaran Kencak, kesenian
Jaran Kencak mulai dikenal kurang lebih oleh masyarakat atau daerah lain.
Jaran
Kencak atau disebut juga Kuda Kencak merupakan salah satu ikon kesenian kota
Lumajang. Asal mula terbentuknya ikon kuda sebagai budaya kota Lumajang adalah
pada saat itu Jaran Kencak lahir pada masa kerajaan Lamajang Tigang Juru. Hal ini
diperkuat dengan bukti ditemukannya patung dari batu bata yang mirip dengan
kuda kencak saat ini. Diduga relief jaran kencak yang ditemukan di daerah Kunir
tersebut berasal dari kerajaan Lamajang Tigang Juru.
Kesenian
ini adalah bentuk ekspresi suka cita masyarakat dari wilayah yang makmur dan
sejahtera. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa kesenian Jaran Kencak ini
sebagai bentuk penghormatan kepada kuda kesayangan Ranggalawe putra dari Arya
Wiraraja yang bernama Nila Ambhara. Sebagaimana banyak diceritakan, baik Arya
Wiraraja maupun Ranggalawe merupakan raja yang sangat dicintai oleh rakyatnya.
Disebutkan
pula bahwa pada awalnya Jaran Kencak di sebut dengan jaran kepang meskipun
bukan terbuat dari anyaman bambu, karena pada saat itu kuda yang di kenderai
rombongan dari Ponorogo hendak mengirimkan delegasi ke bali,
untuk menjalin persaudaraan kerabat dan sudara Batara Kathong dari kerajaan
Majapahit yang mengungsi ke bali.
Namun
ketika sampai di Lumajang, kuda yang di kenakan seragam jazirah perang seperti
di pewayangan untuk di persembahkan di bali memberontak kesana kemari dan
menendang-nendang tiada henti melawan rombongan, hingga dibuat sebuah keputusan
bahwa kuda dan beberapa penjaga untuk tetap tinggal di lumajang untuk
menenangkan kuda, sedangkan rombongan tetap melanjutkan ke Bali. Hingga
akhirnya kuda yang memberontak menjadi tenang dan jinak kembali, warga sekitar
yang melihat kuda dijinakan tersebut merasa terhibur, Sejak saat itu menjadi
sebuah kesenian bernama Jaran Ngepang yang berarti kuda menendang, namun lebih
dikenal dengan nama Jaran Kepang.
Pada
tahun 1806, cakraningrat sampang memindahkan sebanyak 250.000 orang sampang madura
ke pulau jawa
bagian tapal kuda seperti Lumajang. Orang madura yang menjadi punduduk lumajang
juga menggemari kesenian bernama jaran Kepang ini, karena seokor kuda dengan
kostum perang khas pewayangan jawa bertarung berdiri menggunakan dua kaki
dengan pawangnya, setelah kemerdekaan republik Indonesia jaran kepang lebih di
kenal dengan jaran pencak dan menjadi Jaran Kencak yang dikenal hingga saat
ini.
Jaran Kencak memiliki arti Kencak artinya cara
memainkan kaki bergantian. Jadi kakinya harus tepat mengikuti gendang. Bila
gong besar berbunyi tanda lagu selesai maka kuda akan berhenti dengan
sendirinya”. Jaran Kencak juga sering ikut serta menyemarakkan hajatan
pemerintahan seperti pada hari jadi kota Lumajang atau peringatan besar
nasional, hal demikian semakin menambah semaraknya mengembangkan kualitas dan
kuantitas kesenian Jaran Kencak.
Di masyarakat Lumajang khususnya, kesenian ini sering
dijadikan acara hiburan saat masyarakat menggelar hajatan. Kesenian Jaran
Kencak sering berkaloborasi dengan kesenian lain, seperti tari glipang hingga
reog ponorogo. Mereka akan di arak keliling kampung menuju rumah kerabat tuan
rumah yang sedang mengadakan hajatan. Jaran kencak juga sering digunakan untuk
mengiringi khitan, pernikahan hingga karnaval pemerintahan hari jadi lumajang
(harjalu).
Saat ini jaran kencak bisa di jumpai di luar lumajang,
bahkan orang madura yang setelah belajar jaran kencak membuat kesenian serupa
dengan nama Jaran Serek di kota Sumenep. Kita bisa menjumpai kesenian tersebut
di Lumajang, Jember, Banyuwangi, Probolinggo, Pasuruan, Bondowoso dan Situbondo.
Karena daerah tersebut dulunya adalah satu wilayah tapal kuda dalam kekuasaan Kerajaan
Lamajang Tigang Juru (Majapahit Timur) yang beribukota di Lumajang pimpinan Arya
Wiraraja.
Referensi
1.
Wikipedia
Jaran Kencak
2.
Challtis,
Fianto, Hidayat, Vol. 4, No.2, Art Nouveau, 2015
3.
Sejarah
Lumajang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar