Senin, 17 April 2017

Legenda Tari Jaran Kencak di Kabupaten Lumajang – Jawa Timur



Salah satu warisan budaya lokal Indonesia adalah tari Jaran Kencak Lumajang. Tarian Jaran Kencak tidak sebatas pada kepentingan hajatan masyarakat saja namun dalam aktifitas seperti festival kesenian daerah Lumajang telah mempercayakan pada sekelompok kesenian Jaran Kencak, kesenian Jaran Kencak mulai dikenal kurang lebih oleh masyarakat atau daerah lain.

Jaran Kencak atau disebut juga Kuda Kencak merupakan salah satu ikon kesenian kota Lumajang. Asal mula terbentuknya ikon kuda sebagai budaya kota Lumajang adalah pada saat itu Jaran Kencak lahir pada masa kerajaan Lamajang Tigang Juru. Hal ini diperkuat dengan bukti ditemukannya patung dari batu bata yang mirip dengan kuda kencak saat ini. Diduga relief jaran kencak yang ditemukan di daerah Kunir tersebut berasal dari kerajaan Lamajang Tigang Juru.

Kesenian ini adalah bentuk ekspresi suka cita masyarakat dari wilayah yang makmur dan sejahtera. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa kesenian Jaran Kencak ini sebagai bentuk penghormatan kepada kuda kesayangan Ranggalawe putra dari Arya Wiraraja yang bernama Nila Ambhara. Sebagaimana banyak diceritakan, baik Arya Wiraraja maupun Ranggalawe merupakan raja yang sangat dicintai oleh rakyatnya.
 
patung mirip jaran kencak yang di temukan di desa Kunir - Lumajang
Disebutkan pula bahwa pada awalnya Jaran Kencak di sebut dengan jaran kepang meskipun bukan terbuat dari anyaman bambu, karena pada saat itu kuda yang di kenderai rombongan dari Ponorogo hendak mengirimkan delegasi ke bali, untuk menjalin persaudaraan kerabat dan sudara Batara Kathong dari kerajaan Majapahit yang mengungsi ke bali.

Namun ketika sampai di Lumajang, kuda yang di kenakan seragam jazirah perang seperti di pewayangan untuk di persembahkan di bali memberontak kesana kemari dan menendang-nendang tiada henti melawan rombongan, hingga dibuat sebuah keputusan bahwa kuda dan beberapa penjaga untuk tetap tinggal di lumajang untuk menenangkan kuda, sedangkan rombongan tetap melanjutkan ke Bali. Hingga akhirnya kuda yang memberontak menjadi tenang dan jinak kembali, warga sekitar yang melihat kuda dijinakan tersebut merasa terhibur, Sejak saat itu menjadi sebuah kesenian bernama Jaran Ngepang yang berarti kuda menendang, namun lebih dikenal dengan nama Jaran Kepang.

Pada tahun 1806, cakraningrat sampang memindahkan sebanyak 250.000 orang sampang madura ke pulau jawa bagian tapal kuda seperti Lumajang. Orang madura yang menjadi punduduk lumajang juga menggemari kesenian bernama jaran Kepang ini, karena seokor kuda dengan kostum perang khas pewayangan jawa bertarung berdiri menggunakan dua kaki dengan pawangnya, setelah kemerdekaan republik Indonesia jaran kepang lebih di kenal dengan jaran pencak dan menjadi Jaran Kencak yang dikenal hingga saat ini.

Jaran Kencak memiliki arti Kencak artinya cara memainkan kaki bergantian. Jadi kakinya harus tepat mengikuti gendang. Bila gong besar berbunyi tanda lagu selesai maka kuda akan berhenti dengan sendirinya”. Jaran Kencak juga sering ikut serta menyemarakkan hajatan pemerintahan seperti pada hari jadi kota Lumajang atau peringatan besar nasional, hal demikian semakin menambah semaraknya mengembangkan kualitas dan kuantitas kesenian Jaran Kencak.

Di masyarakat Lumajang khususnya, kesenian ini sering dijadikan acara hiburan saat masyarakat menggelar hajatan. Kesenian Jaran Kencak sering berkaloborasi dengan kesenian lain, seperti tari glipang hingga reog ponorogo. Mereka akan di arak keliling kampung menuju rumah kerabat tuan rumah yang sedang mengadakan hajatan. Jaran kencak juga sering digunakan untuk mengiringi khitan, pernikahan hingga karnaval pemerintahan hari jadi lumajang (harjalu).

Saat ini jaran kencak bisa di jumpai di luar lumajang, bahkan orang madura yang setelah belajar jaran kencak membuat kesenian serupa dengan nama Jaran Serek di kota Sumenep. Kita bisa menjumpai kesenian tersebut di Lumajang, Jember, Banyuwangi, Probolinggo, Pasuruan, Bondowoso dan Situbondo. Karena daerah tersebut dulunya adalah satu wilayah tapal kuda dalam kekuasaan Kerajaan Lamajang Tigang Juru (Majapahit Timur) yang beribukota di Lumajang pimpinan Arya Wiraraja.

Referensi
1.      Wikipedia Jaran Kencak
2.      Challtis, Fianto, Hidayat, Vol. 4, No.2, Art Nouveau, 2015
3.      Sejarah Lumajang

Selasa, 11 April 2017

Coret Seragam Saat Lulusan Adalah Bentuk Penghinaan Terhadap Sekolah


Setiap lembaga sekolah di seluruh Indonesia sebentar lagi akan melaksanakan kegiatan Ujian Sekolah. Kegiatan tersebut rutin dilaksanakan setiap akhir tahun pelajaran yang menentukan lulus dan tidaknya siswa tersebut dilihat melalui ujian. Kegiatan inilah yang menjadikan siswa merasa tidak tenang dan cenderung berfikiran yang negatif dengan apa hasil yang akan diperolehnya nanti. Apakah berakhir dengan air mata bahagia atau air mata kesedihan.

Permasalahan yang muncul ketika si anak merayakan kelulusan. Mungkin sudah menjadi kebiasaan sehingga sulit diubah, yaitu ketika si anak mengetahui hasil kelulusan dan merayakan dengan corat-coret seragam sekolah. Ini kelihatannya sudah biasa, tapi sebenarnya ini adalah bentuk penghinaan terhadap sekolah. Mengapa ? berikut alasannya :

1.    Sekolah ibarat sangkar
Ketika siswa menempa pendidikan selama bertahun-tahun di sekolah dengan pemberian berbagai macam tugas dan soal-soal latihan. Tapi ketika lepas (lulus) terlihat seperti burung yang lepas dari sangkar. (lepas dari berbagai macam tugas) yang akhirnya diekspresikan dalam bentuk corat-coret seragam sekolah.
2.    Bertolak belakang saat sebelum ujian
Sebelum ujian berlangsung banyak dan bahkan hampir seluruh siswa akan melaksanakan doa bersama, memohon diberikan kelancaran saat ujian. Bahkan hingga meneteskan air mata demi lulus dalam ujian. Tapi setelah lulus? Konvoi, corat-coret seragam dan lain sebagainya.
3.    Lambang sekolah
Mungkin si anak tidak menyadari bahwa lambang sekolah, lambang organisasi (OSIS), atau mungkin bendera merap putih yang menempel pada seragam ikut tercoret. Inilah bentuk penghinaan terhadap sekolah yang selama ini sudah mendidik si anak.
4.    Pandangan negatif masyarakat
Saat melihat konvoi anak sekolah yang merayakan kelulusan, seragam sudah tercoret, maka masyarakat sudah pandai menilai tingkah laku anak. Masyarakat akan berfikiran negatif “kok diperbolehkan main corat-coret seragam?” “dari sekolah mana ini?”  secara tidak langsung lembaga sekolah yang kena dampaknya.

Sudah saatnya hilangkan kebiasaan corat-coret seragam sekolah. Ada baiknya seragam yang masih layak dipakai disumbangkan kepada adik kelas yang kurang mampu. 

Sadarlah wahai anakku
Bahwa seragam yang kau kenakan itu
Terdapat lambang sekolahmu,
Terdapat Lambang organisasimu,
Bahkan benderamu...
Jangan kau coret lambang kebesaranmu itu....